Rata-rata anggota Ngaco adalah pemuda berusia 18-23 tahun. Penampilan
mereka terkesan semaunya. Tidak terikat aturan dan bebas berekspresi.
Ciri khasnya, sepatu kets, celana ketat yang mengecil di pergelangan
kaki, dan kaus oblong bertuliskan nama band underground.
Tak lupa bungkus jaket hip hop untuk melawan dinginnya malam kala mereka beraksi. Rambut dimodel semaunya: Japanese Punk, asimetris, geometrik, atau terserah pemiliknya.
Jumat (27/6) malam lalu, Enot, Abe, dan Cla, tiga di antara mereka
terlihat bergaya Harajuku (model penampilan bebas ala remaja di Jepang).
Sementara JJ, sang koordinator lebih rapi. Ia gunakan jaket hitam,
celana kain, potong cepak, dan sepatu sport. Mereka tengah berkumpul di
sebuah warung di kawasan pusat jajanan Pulosari Kota Malang.
“Kebetulan gak ngebomber (istilah menggambar graffiti di tembok) ya begini,” ungkap JJ yang alumnus SMK 5 ini.
Soal identitas, para bomber (pelukis graffiti) ini memang sengaja
ditutup. Mereka hanya mau diekspos memakai nama beken atau nama jalanan.
Enot, Abe, Cla, dan JJ adalah nama beken mereka. Sementara Sleeck, Abe
One, Dcl dan PD Monster adalah nama jalanan mereka masing-masing.
Soal nama asli dan domisili, mereka meminta tidak dikorankan. Sebab
ini berhubungan dengan aktivitas mereka yang sebelumnya melakukan “vandalisme“ (membuat tulisan atau gambar liar di tembok jalanan).
Selain itu, mereka sebenarnya menikmati dobel identitas yang mereka gunakan. Identitas pribadi dan identitas jalanan.
Menurut JJ, bagi banyak orang, vandalisme sering membuat geregetan.
Sebab istilah vandalisme identik dengan gambar graffiti tanpa izin.
Sasarannya pun semaunya para bomber. Bisa tembok milik pemerintah,
tembok milik perusahaan, tembok kampung atau tembok perseorangan. Dampak
kejengkelan orang lain itulah yang dihindari mereka dengan tidak
membuka identitas asli.
Bahkan untuk kepentingan pemotretan koran ini, mereka meminta untuk berpose mengenakan masker atau penutup wajah.
“Kadang teman kita di kampung atau guru sekolah tidak tahu kalau kita
ini yang membuat graffiti di banyak tembok Kota Malang,” ungkap Cla.
“Saya pernah dikejar satpam Playground Matos sampai nyebur got. Pas ngebomber tembok playground tanpa izin setahun lalu.
Makanya identitas harus kami sembunyikan,”sambung Enot.
Cla pernah ditangkap aparat kepolisian Polresta Malang saat
menggambari tembok TMP Suropati, Jalan Bandung. Sepeda motornya diangkut
polisi ke mapolresta. Akibat aktivitas “vandalisme“ itu, dia pun harus “berdamai” Rp 200 ribu dengan oknum.
“Dulu kami dikejar-kejar polisi atau satpam. Masa sekarang ngaku,”ungkap remaja 18 tahun ini.
Komunitas Ngaco punya peran besar dalam memasyarakatkan graffiti di
kalangan remaja Kota Malang. Sebelum tahun 2006, di saat tembok-tembok
masih beku, masing-masing anggota Ngaco meluapkan ekspresi mereka.
Dengan melakukan tagging (graffiti tulisan identitas) atau “vandalisme“ tulisan dan gambar, mereka memberikan warna pada tembok-tembok (istilahnya spot) itu.
Grafiti, seperti dalam Wikipedia, adalah kegiatan seni rupa yang
menggunakan komposisi warna, garis, bentuk, dan volume untuk menuliskan
kalimat tertentu di atas dinding. Alat yang digunakan biasanya cat
semprot kaleng (aerosol). Berbeda dengan mural yang berupa gambar atau
lukisan ditembok yang lebih banyak menggunakan cat kayu, cat besi, cat
tembok dan kuas.
Komunitas beranggotakan tujuh personel ini terbentuk 9 April 2006
lalu. Kebetulan Jumat malam itu, hanya empat orang yang bisa berkumpul.
Dengan berbagai latar belakang anggotanya (saat itu semuanya masih duduk
di bangku SMA/SMK), mereka bisa menyatu. Kegemaran dan hobby mereka
ber-graffiti bisa mempertemukan satu dengan lainnya.
Peran situs http://www.tembokbomber.com ikut mempertemukan mereka. Situs itu adalah forum pelaku graffiti se-Indonesia. Mereka semua adalah membernya. “Kita semua kan pernah upload ke tembokbomber. Kenal di dunia maya, lalu kami bertemu dan bentuk komunitas Ngaco,” ungkap JJ.
JJ sendiri terjun ke dunia graffiti karena senang musik hip-hop.
Salah satu unsur musik ini adalah graffiti di tembok. Korban pertamanya
adalah tembok di milik tetangga di kampungnya. Sedangkan Enot
terinspirasi dari kegemarannya melihat aktivitas komunitas skate board.
Dinding kamarnya jadi spot pertama untuk berekspresi. Selanjutnya
tembok Pemerintah Kota Malang di tempat-tempat umum jadi korban.
Sementara Abe terpikat graffiti karena keseringannya memainkan game Tony
Hawk’s di PS-2 (game bertema skater). Dan Cla terinspirasi dari gambar
dan foto-foto soal graffiti. Tembok pasar Dinoyo yang jadi media
ekspresi bebas untuk kali pertamanya.
“Saat di jalanan, cat semprot beli sendiri. Modal tidak apa-apa tapi
puas,” ungkap Abe yang kini tengah menunggu ujian masuk perguruan tinggi
ini.
Enam bulan terakhir ini, mereka mengaku mulai dewasa dalam
mengembangkan aktivitas graffiti di Kota Malang. Mereka mulai jenuh
dengan aktivitas “vandalisme“ dan mulai mengarah pada graffiti komersial (jasa menggambar). Mulai dari graffiti di rolling door, tembok kosong perumahan, hingga kamar remaja.
Agar tetap bisa berekpresi di jalanan, tetapi tidak menganggu
properti orang lain, mereka kini memilih jalan graffiti legal. Caranya,
dengan mengajukan izin ke pemilik properti. Idur, salah seorang dari
mereka ditunjuk sebagai tim sukses dan petugas survei spot. Idur harus
izin ke RW, kelurahan, atau pihak pemilik properti. Kalau oke, maka para
bomber pun bisa beraksi dengan legal.
“Contohnya ya di Stasiun Blimbing tiga minggu lalu,” kata Idur.
“Itu semua legal,” imbuh karyawan distribusi aksesoris ponsel ini.
Para personel Ngaco pun membentuk komunitas lebih besar yang diberi nama Must. Komunitas ini untuk mengumpulkan para bomber
junior yang kini banyak bermunculan. Tujuannya agar para bomber tidak
saling merusak karya sesama bomber. Tujuan lain, kalau bisa, karya
graffiti yang diciptakan malah bisa memperindah penampilan kota.
Peran Idur cukup besar. Dia harus mencarikan spot-spot kosong untuk
ekpresi bomber yang kini sudah mencapai 25 kru (sebutan untuk setiap
kelompok bomber). Karena tugas beratnya itu, dia butuh masyarakat
memberikan legalitas. Toh karya graffiti apabila dikerjakan
secara legal dan dibina bisa memperindah penampilan kota. “Vandalisme
sulit untuk distop 100 persen. Itu sudah dari sejarahnya,” kata Idur. (*/ing/radar-malang)
0 komentar:
Posting Komentar